Total Tayangan Halaman

Senin, 27 Oktober 2008

sampah

Persoalan sampah seolah-olah merupakan masalah abadi di dunia. Sepanjang hidup manusia, maka permasalahan sampah akan terus menguntit. Permasalahan sampah sebenarnya merupakan bagian dari konsekuensi hidup karena setiap aktifitas manusia pasti menghasilkan buangan atau sampah. Setiap individu di kota menghasilkan sampah 0,50-0,65 kg per orang per hari, dengan kepadatan 200 kg/m3 (Mubiar Purwasasmita, Pikiran Rakyat tanggal 2 April 2005).

Namun ketika kita membicarakan tentang sampah, seringkali kita terjebak dengan pembicaraan yang negatif berkaitan dengan sampah. Sisi polutif sampah merupakan hal yang senantiasa menghantui masyarakat. Longsornya gunung sampah di TPA Leuwigajah yang mengubur lebih dari 150 penduduk hingga tewas sungguh merupakan peristiwa paling menyedihkan sepanjang sejarah pengelolaan sampah kota.Gaung bencana sampah longsor di Leuwihgajah sepertinya mulai menghantui warga sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Benowo, Surabaya. Hal ini disebabkan kapasitas landfill TPA tersebut ternyata tidak sama dengan yang diperkirakan dan sudah pasti suatu saat akan menjadi gunung sampah yang rawan longsor.

Kondisi pengelolaan sampah di TPA Benowo cukup mengkhawatirkan. Lahan seluas 26 hektar yang direncanakan berumur 16 tahun dengan ketinggian sampah 20 meter itu diperkirakan hanya bertahan tujuh tahun atau sampai 2008. Menurut Data Dinas Kebersihan Kota Surabaya, volume sampah rata-rata yang dibuang ke TPA Benowo sekitar 6.000 meter kubik.

Dengan adanya tumpukan 6000 ton sampah setiap hari, ketinggian sampah dapat mencapai 2,3 cm. Dalam waktu sebulan tinggi tumpukan sampah bisa mencapai 69 cm atau 8,28 meter setiap tahun. Dengan rata-rata penyusutan 25 persen dalam setahun tinggi sampah bisa mencapai 6,21 meter. Artinya dalam 16 tahun tinggi sampah bisa mencapai 99,6 meter. Padahal, menurut mantan Ketua Tim Konsultan Pembangunan TPA Benowo dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya Wahyono Hadi, TPA Benowo didesain untuk 16 tahun penggunaan tinggi bukit sampah maksimun 32 meter (Kompas edisi Jatim 15 Maret 2005).

Melihat kondisi tersebut, langkah apa yang diambil oleh Dinas Kebersihan Surabaya? Mereka hanya bisa melakukan penggusuran terhadap lokasi di sekitar TPA. Rencananya Dinas Kebersihan akan memperluas TPA Benowo menjadi 140 hektar. Terus, sampai kapan Pemkot akan melakukan penggusuran guna menampung sampah masyarakat kota Surabaya? Apakah tidak ada cara lain yang lebih strategis dan lebih elegan dalam menyelesaikan permasalahan sampah?

sampah1.jpg

Pada dasarnya sampah memang merupakan bahan yang terbuang dan tidak menghasilkan keuntungan ekonomis bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi yang negatif. Mengapa nilai ekonomi sampah negatif? Hal ini disebabkan dalam penanganannya baik untuk membuang atau membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. Namun, paradigma yang memandang sampah sebagai barang yang tidak berguna harus kita buang jauh-jauh dari pemikiran kita.

Ditinjau dari segi bisnis, pengelolaan sampah sebenarnya merupakan bisnis yang cukup menjanjikan. Dari kasus sampah DKI sebagai contoh, volume sampah yang dihasilkan ibu kota adalah 6.000 ton/hari, dan dibuang ke TPA sampah Bantargebang, Bekasi yang luasnya 108 ha. Selain menjadi masalah, lautan sampah tersebut juga menjadi lautan rezeki bagi para pemulung, dan sekarang ini menjadi lahan usaha yang menjanjikan bagi perusahaan pengolahan sampah.

Keuntungan yang diperoleh PT Wira Guna Sarana (WGS) dengan kapasitas produksi 2.000 ton sampah/hari dengan biaya pengolahan Rp 53.000,00/ton atau sama dengan Rp 106 juta/hari.Karena itulah supaya sampah di kota Surabaya tidak menjadi barang yang mubazir dan hanya mengakibatkan bencana, maka kita perlu memikirkan konsep pengelolaan sampah terpadu. Sistem pengelolaan sampah harus lebih efektif, efisien, dapat diandalkan dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

Dalam sistem tersebut harus dapat melayani seluruh penduduk dan memberikan peluang pihak swasta untuk berpartisipasi aktif. Pemberdayaan masyarakat untuk dapat memilah, mana sampah yang organik dan mana sampah yang anorganik juga menjadi kunci strategis dalam pengelolaan sampah terpadu.Dalam sistem pengelolaan sampah terpadu yang membutuhkan teknologi tingkat tinggi, keberadaan swasta memang sangat diperlukan.

Ada berbagai alasan yang melatarbelakangi mengapa peran swasta perlu ditonjolkan dalam pengelolaan sampah. Pertama, organisasi pemerintah dianggap terlalu gemuk sehingga menjadi sangat lamban dalam menangani langsung permasalahan sampah. Kedua, privatisasi dapat mengembalikan tugas pemerintah yang sebenarnya sebagai pengendali negara bukan sebagai pelaksana. Ketiga, Privatisasi akan memberikan manfaat bagi konsumen atau stakeholder karena swasta memiliki mekanisme insentif.

Keempat, privatisasi meransang kompetensi yang akan menuju pada efisiensi. Kelima, privatisasi akan membantu pemerintah untuk membangun infrastruktur.Keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan sampah dipercaya akan dapat lebih menciptakan efisiensi daripada pemerintah, karena sektor swasta lebih menggunakan acuan bisnis dalam pengelolaan dan dapat memfokuskan penyelesaian kinerja buruk dan rendahnya produktifitas.

Banyak negara telah melakukan privatisasi terhadap pengelolaan sampah. Keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan dan pembiayaan telah menciptakan kinerja yang lebih baik dalam sektor pengelolaan sampah. Contohnya di Monterrey salah satu daerah di Meksiko telah berhasil mengubah lautan sampah menjadi berkah. Di Monterrey, lembaga Simeprodeso telah berhasil mengelola sampah sampai bisa memproduksi energi listrik untuk menerangi sepertiga penerangan jalan. Dengan investasi 11 juta dollar AS, keuntungan bisa dua juta dollar As per tahun (Kompas, 18 Mei 2005).

Sebenarnya Dinas kebersihan telah melakukan privatisasi atau swastanisasi parsial terhadap pengelolaan sampah antara lain memberikan tender kepada swasta untuk melakukan proyek penyapuan sebesar Rp 4,1 milyar dan juga pengangkutan sampah.

Namun, lagi-lagi langkah yang diambil Dinas Kebersihan hanya sekedar mengimplementasikan falsafah 3 M yakni mengumpulkan, mengangkut, membuang, sampah. Mereka masih saja menggunakan paradigma “asalkan sampah hilang dari pandangan mata”, maka permasalahan sampah dianggap sudah selesai. Bukankah lebih baik Pemerintah Kota segera mencari investor untuk melakukan pengelolaan sampah. Sudah saatnya kita mengganti kepanjangan TPA dari Tempat Pembuangan Akhir menjadi Tempat Pengolahan Akhir. Marilah kita mencoba untuk mengubah sampah dari bencana menjadi suatu berkah.

(Pernah dimuat di Kompas Edisi Jatim 30 Mei 2005)

Tidak ada komentar: